CERITAWARNA.COM – Ondel-ondel, sosok boneka raksasa dengan wajah mencolok dan tinggi menjulang, adalah salah satu ikon budaya Betawi yang paling dikenal. Di tengah modernisasi Jakarta sebagai ibu kota negara yang penuh gedung pencakar langit dan ritme hidup yang cepat, ondel-ondel tetap menjadi simbol keberadaan dan kebanggaan masyarakat Betawi. Ia bukan sekadar hiburan jalanan, melainkan warisan budaya yang kaya makna dan terus hidup meski zaman terus berubah.
Asal usul ondel-ondel dapat ditelusuri hingga masa pra-Islam di Nusantara, ketika masyarakat masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Saat itu, ondel-ondel berfungsi sebagai penolak bala atau roh jahat. Dengan ukuran raksasa dan wajah menyeramkan, boneka ini diarak keliling kampung sebagai simbol pelindung warga dari mara bahaya.
Nama “ondel-ondel” sendiri diyakini berasal dari suara atau irama musik tradisional yang mengiringinya, seperti tanjidor atau rebana. Dalam representasi modern, ondel-ondel sering tampil berpasangan—satu laki-laki dengan wajah merah dan satu perempuan dengan wajah putih—melambangkan keseimbangan antara kekuatan maskulin dan feminin, serta harmonisasi hidup antar manusia.
Membuat ondel-ondel bukanlah pekerjaan mudah. Rangka tubuhnya terbuat dari anyaman bambu yang ringan namun kuat, dengan tinggi mencapai dua hingga tiga meter. Kepala ondel-ondel dibuat dari kayu atau gabus yang dipahat, dilukis secara manual, dan dilengkapi rambut dari ijuk atau bahan sintetis. Busananya penuh warna dan dihiasi ornamen khas Betawi, seperti sarung dan kain batik.
Yang membuat ondel-ondel istimewa bukan hanya bentuknya yang besar, melainkan juga kerumitan dalam pembuatannya yang mengandalkan ketrampilan tangan para seniman tradisional. Setiap ondel-ondel dibuat dengan karakter yang unik, mencerminkan kreativitas dan jiwa sang pembuat.
Dahulu, ondel-ondel hanya tampil dalam upacara adat tertentu, seperti tolak bala atau syukuran kampung. Namun, seiring waktu, peran ondel-ondel mengalami pergeseran. Kini, ondel-ondel sering hadir di acara pernikahan, peresmian gedung, festival budaya, hingga parade kota. Ia menjadi bagian dari pertunjukan jalanan yang menghibur masyarakat luas.
Meskipun begitu, nilai spiritual dan simboliknya tidak hilang begitu saja. Banyak seniman Betawi yang tetap menjaga makna aslinya dengan menyisipkan pesan moral dan budaya dalam pertunjukan. Musik pengiring seperti tanjidor dan gambang kromong tetap menjadi elemen penting yang memperkaya pengalaman menonton.
Namun, ondel-ondel tak lepas dari tantangan zaman. Salah satunya adalah komersialisasi dan eksploitasi budaya. Di berbagai sudut kota Jakarta, kita bisa menemukan ondel-ondel tampil di jalanan untuk mengamen, tanpa iringan musik tradisional dan seringkali dalam kondisi mengenaskan. Ini menjadi polemik antara pelestarian budaya dan kebutuhan ekonomi.
Di sisi lain, regenerasi seniman pembuat ondel-ondel juga menjadi tantangan tersendiri. Generasi muda yang lebih tertarik pada budaya populer dan teknologi digital cenderung menjauh dari kesenian tradisional. Jika tidak ada upaya serius dari pemerintah, masyarakat, dan institusi budaya, maka keberlangsungan ondel-ondel sebagai warisan budaya bisa terancam.
Berbagai komunitas dan sanggar seni di Jakarta telah berupaya menghidupkan kembali semangat ondel-ondel. Mereka mengadakan pelatihan membuat ondel-ondel bagi anak-anak muda, menggelar pertunjukan rutin di kampung Betawi, serta mengemas ondel-ondel dalam bentuk yang lebih modern seperti miniatur dan boneka edukatif.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah menetapkan ondel-ondel sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia. Langkah ini memberi dorongan moral dan hukum untuk menjaga kelestariannya. Selain itu, festival budaya seperti Pekan Raya Jakarta dan Lebaran Betawi selalu menghadirkan ondel-ondel sebagai atraksi utama.
Lebih dari sekadar hiburan, ondel-ondel adalah identitas. Ketika ondel-ondel melangkah di tengah keramaian kota, ia membawa serta sejarah, harapan, dan semangat kolektif masyarakat Betawi. Melestarikan ondel-ondel berarti merawat jati diri bangsa. Ia adalah simbol keberagaman, toleransi, dan kekayaan budaya Indonesia yang harus terus hidup dan berkembang dari generasi ke generasi.
ceritawarna.com - Kamu mungkin mengira warna hitam hanya bisa didapatkan dari cat hitam yang sudah…
Ceritawarna.com – Dunia seni rupa kembali berdenyut di Yogyakarta! Kali ini, seniman lintas media, Win Dwi…
ceritawarna.com - Pemerintah Hong Kong bekerja sama dengan para seniman lokal menyelenggarakan pameran unik yang…
ceritawarna.com - Apa Itu Festival Songkran di Thailand? Ini 10 Faktanya Setiap pertengahan April, Thailand…
CeritaWarna.com – Kalau ngomongin seni kontemporer, kita nggak bisa lepas dari pergeseran besar dalam dunia…
CERITAWARNA.COM - Pernah nggak sih kamu melihat puisi yang bentuknya bukan sekadar bait-bait kata di…