ceritawarna.com – Puisi tidak selalu harus dibaca dalam barisan kata yang lurus dan formal. Kini, ada bentuk baru yang memadukan keindahan kata dan rupa: puisi visual. Jenis puisi ini menampilkan kata-kata seperti lukisan—mengandalkan tata letak, bentuk, dan estetika visual untuk memperkuat makna.

Dalam puisi visual, penyair menyusun teks membentuk gambar atau pola. Misalnya, puisi berbentuk hati untuk menyampaikan cinta, atau baris-baris yang membentuk gunung saat membahas tentang alam. Penataan ini bukan sekadar hiasan; bentuk fisiknya turut bicara. Pembaca tidak hanya menikmati makna melalui kata-kata, tetapi juga merasakannya lewat bentuk dan tampilan.

Seni ini telah muncul sejak abad ke-20 melalui gerakan konkretisme di Brasil dan Eropa. Para seniman seperti Eugen Gomringer dan Décio Pignatari mengubah cara orang membaca puisi. Mereka menciptakan karya yang tidak hanya dibaca dengan mata pikiran, tetapi juga dinikmati secara visual. Kini, seniman modern terus mengembangkan puisi visual dengan bantuan teknologi digital dan media sosial.

Bentuk ini menantang penyair untuk berpikir lebih kreatif. Mereka tidak hanya bermain dengan diksi dan rima, tetapi juga dengan ruang kosong, tipografi, dan susunan baris. Sebuah puisi bisa lebih “berbicara” ketika bentuknya mendukung pesannya.

Bagi pembaca, puisi visual menghadirkan pengalaman baru: membaca sambil melihat. Ini menyatukan sastra dan seni rupa dalam satu medium. Dengan puisi visual, kata-kata tak lagi terbatas dalam paragraf—mereka menjelma menjadi gambar yang bisa memikat siapa saja, bahkan yang tak biasa membaca puisi.