ceritawarna.com – Seni rupa kini tidak hanya menghiasi ruang galeri, tetapi juga mengangkat suara-suara kritis terhadap persoalan hak asasi manusia (HAM). Banyak perupa di Indonesia dan dunia secara aktif menggunakan karya mereka untuk menyuarakan ketidakadilan, diskriminasi, kekerasan, dan pelanggaran hak dasar.

Melalui pameran, seniman menciptakan ruang dialog antara publik dan isu-isu sosial yang sering luput dari perhatian. Mereka menghadirkan lukisan, instalasi, fotografi, dan karya multimedia yang menggugah kesadaran. Dalam beberapa kasus, seniman juga mengajak korban pelanggaran HAM untuk berkolaborasi, sehingga suara mereka bisa terdengar secara lebih personal dan emosional.

Tidak hanya di ruang fisik, seniman juga memanfaatkan media sosial sebagai panggung alternatif. Platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok kini menjadi media penting untuk menyebarkan pesan secara cepat dan luas. Dengan visual yang kuat dan narasi yang tajam, karya seni yang mereka unggah sering kali mengundang diskusi publik, bahkan viral.

Namun, seniman juga harus menghadapi risiko. Beberapa karya yang dianggap terlalu politis atau provokatif justru mengundang sensor, intimidasi, atau bahkan pembatalan pameran. Meski demikian, banyak seniman tetap berkomitmen untuk menggunakan seni sebagai alat perjuangan dan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Seni rupa bukan sekadar ekspresi estetika. Ia berfungsi sebagai cermin, kritik, dan pengingat. Di tengah situasi sosial yang kompleks, para seniman terus menghidupkan harapan bahwa seni dapat menggerakkan perubahan dan membela yang tak bersuara.